Pada Jumat, 14 September 2018, berlangsung Bincang Sore, Belajar tentang Aceh, Ruang Kaca Yang Menyimpan Parang dan Rencong, bersama Putra Hidayatullah. Beranda Taman Baca Kesiman tampak ramai petang itu, kurang lebih 40 orang hadir.
Putra mengawali uraiannya dengan sebuah pertanyaan, bagaimana sebuah rezim melegitimasi kekerasan yang berlangsung di Aceh? Paparannya dimulai dari cerita tentang Rumoh Geudong, sebuah tempat yang menjadi lokasi interogasi dan penahanan orang-orang yang dicurigai subversif.
Rezim Orde Baru mendefinisikan ulang kebudayaan masyarakat Aceh sebagai kebudayaan yang mendukung pembangunan. Sebagai wilayah dengan sejarah perlawanan yang panjang, kebudayaan yang tumbuh secara organik berlawanan dengan agenda pembangunan rezim. Pada titik ini, intervensi rezim dalam kebudayaan dilakukan secara langsung, seperti keterlibatan aparatus ideologis negara, penyesuaian kurikulum kampus, dan perubahan dalam seni-seni pertunjukan.
Melihat Aceh hari ini tidak dapat dilepaskan dari warisan budaya kekerasan. Periode 2005 hingga kini merupakan periode terpanjang masa damai yang dialami masyarakat Aceh. Hal ini tentu menyiratkan harapan, meski tantangan kedepannya semakin berat dalam membangun kebudayaan masyarakat yang kritis.
Terima kasih kepada seluruh hadirin yang hadir di Taman Baca Kesiman. Sampai jumpa!