Selasa, 6 Oktober 2018
Sebagai ruang sharing dan belajar yang fokus dalam memberdayakan masyarakat sekitar dan membangun pemikiran kritis sebagai bekal mensiasati hidup di jaman now, Taman Baca Kesiman mendapat kesempatan untuk mengumpulkan beberapa anak muda untuk duduk bersama, saling berkenalan satu sama lain sambil belajar mengenai situasi sosial dan budaya yang tak jarang berat sebelah atau menguntungkan satu kelompok sembari menindas kelompok yang lain.
Tema obrolan pada kesempatan kala itu adalah feminisme. Walau topik feminisme telah muncul berabad lalu dan di Indonesia negeri kita tercinta sudah melahirkan tokoh Feminis tersohor RA Kartini, masih banyak anak muda atau mahasiswa yang minim pengetahuan mengenai kesetaraan gender. Apalagi lahir dan besar di Bali dengan budayanya yang partriarkis, sangat jarang memberikan ruang untuk perempuan bersuara atau menentukan keputusan dan kerap disibukan dengan kerja adat yang tak jarang memberi beban besar namun minim pengakuan kepada kaum perempuan. Anak muda Bali juga jarang memiliki kebiasaan mempertanyakan praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan. Ini juga bagian dari warisan orde baru yang membudayakan sistem ancaman dan teror terhadap segala sesuatu yang berbau kritik atau kritis pada masanya.
Diskusi dihadiri oleh kawan-kawan yang giat berkunjung atau sudah biasa ke TBK, sebagian besar adalah MABA atau mahasiswa baru dari berbagai studi. Ada mahasiswa arsitektur, sastra inggris, antropologi, teknik listrik, ekonomi dan tak sedikit juga yang sudah menyelesaikan studinya berkumpul bersama mendengarkan pengantar yang dikhotbahkan oleh mas Nug Katjasungkana. Bliyonya adalah peneliti pada Komisi Penulisan Sejarah Perjuangan Perempuan Timor-Leste di Dili, Timor-Leste.