Bincang Sore, Belajar Tentang Aceh, bersama Putra Hidayatullah

Aceh, provinsi paling utara Indonesia, merupakan wilayah yang sejak dulu dikenal sebagai wilayah pergolakan. Pada periode kolonial, Aceh termasuk wilayah koloni paling akhir  yang dianeksasi ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Ketika perang kemerdekaan berlangsung, Aceh menjadi garda depan pendukung Republik yang saat itu baru berdiri.

Pasca-peristiwa 1965, Aceh menjadi wilayah yang paling gigih melawan kebijakan Orde Baru. Perlawanan ini mendapatkan reaksi yang keras. Sepanjang masa pemerintahan Soeharto, tak kurang berkali-kali wilayah Aceh menjadi sasaran operasi militer. Guna menjustifikasi kekerasan yang berlangsung, pemerintah militer menginisasi suatu strategi kebudayaan, yang melucuti api perlawanan masyarakat Aceh itu sendiri. Di dalam penerapannya, Orde Baru melibatkan berbagai unsur, mulai birokrasi, intelektual, hingga seniman guna mendefinisikan ulang apa ekspresi kebudayaan Aceh.

Bincang Sore kali ini membicarakan kebudayaan sebagai legitimasi kekerasan dengan belajar dari pengalaman Aceh. Kami mengundang kawan-kawan untuk hadir pada Jumat, 14 September 2018, pukul 18.00 WITA di Taman Baca Kesiman. Akan hadir Putra Hidayatullah, lulusan School of Oriental and African Studies Universitas London sebagai pengampu diskusi.

Putra Hidayatullah lahir di Pidie, Aceh, 1988. Ia aktif di Komunitas Tikar Pandan. Pada tahun 2015, ia diundang sebagai kurator muda di Biennale Jakarta 2015. Tulisan dan kurasinya fokus pada isu kekerasan politik, lebih spesifik pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh kurun waktu 1976 hingga 2005. Pada 2014 ia menyelenggarakan pameran berjudul Puing Perang di kompleks kesenian Taman Ismail Marzuki, berkolaborasi dengan Ruang Rupa Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Sejak 2013, ia menjadi kurator Festival Film Cang Pilem di Episentrum Ulee Kareeng.

Image by Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=8601330

Scroll to Top